DUNIA BERPERANG KETIKA KITA BERMAIN FACEBOOK

Danny Auron mewakili tim Avazz telah menghantar emel kepada jutaan pengikut Avazz seluruh dunia pada tanggal 6 Disember 2016 lalu.

Tulis Danny di awal perenggan emelnya,

"Dear friends, The UN just announced Aleppo is fast becoming 'one giant graveyard' and residents risk 'extermination'. Not one of our governments is in there saving lives, but an extraordinary group of Syrians are: The White Helmets. 73,530 lives in fact. That’s how many people they have saved, rushing to the scene of bombings to pull people from the rubble and carry them to safety."

Menurut Danny, The White Helmets bukanlah super hero yang datang menyelamatkan penduduk Aleppo dengan sut super hero ketat ala Marvel yang kita biasa tonton di layar perak.

The White Helmets terdiri dari pembuat roti, guru, tukang jahit; senang cakap, mereka semuanya datang dari kelas masyarakat biasa Aleppo yang sanggup bergadai nyawa, melempar diri sendiri ke dalam celah celah dinding bangunan sedang api marak menari nari demi menyelamatkan nyawa-nyawa yang tidak berdosa.

Untuk pengetahuan semua, The White Helmets sebenarnya adalah calon untuk anugerah The Nobel Prize, namun mereka tewas, memusnahkan harapan untuk menerima wang satu juta yang semestinya memberi makna besar buat kelangsungan kerja-kerja heroik mereka.

Semalam, 13 Disember, tajuk berita dari portal online TeleUSR, "Syria's Meltdown of Humanity. Emergency Commons Debate as Aleppo Civillians Excecuted, Children Trapped Under Bombardment".

Laporan mengatakan sekurang kurangnya 82 orang awam termasuk kanak-kanak dan wanita ditembak mati di empat kawasan perkampungan dan paling tragisnya, mereka ditembak di dalam rumah, tempat perlindungan mereka sendiri! Dan masih terdapat 100,000 nyawa yang terperangkap di daerah Aleppo.

Masyarakat dunia yang ditangan mereka terlekat gajet canggih lantas menaip mesej mesej keamanan di Tweeter dan Facebook seperti mana yang selalu mereka jerit-jeritkan selepas menerima berita begini.

"The world has fail you, Aleppo" , "Never Again", "Hentikan kekejaman", "Bashar Laknatullah" - ini adalah antara ayat-ayat yang sering ditulis; merupakan satu-satunya tanggungjawab yang kita galaskan.

Realitinya, itu sahajalah kederat yang kita mampu tunjukkan. Bukankah ianya selalu begitu?

Dari tahun 2011, sudah 500,000 nyawa rakyat Syria menuju ke langit tatkala perang meletus. Ribuan mati di perairan laut sebelum sempat menunaikan niat mencari keselematan buat anak isteri di tanah Eropah, anak kecil bernama Aylan Kurdi telahpun memberi signal kepada kita dunia yang bagaimana kita sedang huni ini. Perang demi perang, dari seketul bom sehingga jutaan bom meletup, daerah-rumah-bangunan hangus ditelan api sang lunatik, nyawa demi nyawa melayang terbang ke langit, majlis pengkebumian setiap hari - dunia dan masyarakatnya hanya mampu melihat kaku setiap minit Syria dibakar dan orang-orangnya dibunuh melalui skrin gajet.

Masyarakat global gagal untuk kali ke berapa belajar dari pengalaman. Dunia sudah berparut dengan kebrutalan perang sejak dari dulu lagi. Dari zaman perang dunia, sehinggalah pembunuhan etnik di Rwanda, perang saudara di Afrika, perang Vietnam, krisis humanitarian di Srebenica, Bosnia, penyembelihan bangsa Rohingya di Rakhine, penyeksaan ke atas komuniti Kurdistan dengan senjata kimia, konflik di Yemen (didalangi oleh syaitan Arab dan kuncu-kuncunya) penjajahan di Palestin, sudah terlalu lelah untuk kita akui betapa banyaknya negeri-negeri yang tercelakakan lewat perang menjelma.

Bila dan bagaimana agaknya krisis perang ini akan tamat? Bukankah pengalaman lalu sepatutnya memberi pedoman buat kita semua sebagai komuniti internasional yang konon-kononnya bersikap jijik terhadap perang?

Beratus, mungkin beribu NGO, orang perseorangan seperti grup The White Helmets membahayakan diri memberi bantuan kemanusiaan kepada mangsa-mangsa perang di Aleppo khususnya. Ada yang menunggu di pantai menunggu ketibaan pelarian perang, ada yang menyediakan makanan buat mereka yang kebuluran dan ada pula yang membuka sekolah buat anak-anak mangsa perang di kem-kem pelarian.

Selain dari bantuan humaniti, yang selebihnya masyarakat internasional hanya menghantar jutaan doa, harapan, mesej-mesej anti-perang.

Tetapi apakah ini semua memadai tuan-tuan?

Cukupkah sekadar doa sahaja? Apakah doa, ucapan-ucapan anti perang itu kita usahakan hanya sebagai eskapisme dari tugasan membereskan tanggungjawab yang lebih besar?

Kita tidak menafikan usaha-usaha kemanusian, apalagi mempertikai doa doa dan harapan yang sedang terapung di udara, tetapi yang kita bimbangkan sampai bila perang ini mesti berlarutan? Sampai bila misi kemanusiaan diteruskan? Sampai bila kita hanya mengirim doa seminit dua kemudian menyambung urusan hidup kita, sedangkan di Aleppo, di Yemen, di Iraq, di Rakhine, di Afrika darah-darah pekat sedang laju mengalir menyirami tanah tandus?

Bukankah yang paling utama, paling essensial, paling yang dinanti nantikan saat ini ialah usaha memansuhkan perang?

Julie Lenarz menulis di Telegraph UK,

"It is too late for the people of Aleppo. They will follow the restless souls of Cambodia, Rwanda, Bosnia, and Darfur in a long line of victims abandoned by the international community. At least we have another opportunity to reflect on how we want to respond to mass atrocities in the future,"

Masyarakat global mesti mencaci negara bangsa seperti Amerika, United Kingdom, Rusia juga sekutu sekutunya yang mempunyai kepentingan dalam mencipta peperangan. Kita tidak lagi boleh percaya kepada diplomasi UN, NATO, ASEAN, OIC, Kesatuan Eropah kerana sikap dayus mereka. Kita tidak boleh lagi mengharapkan kepada gerakan gerakan militan yang dibiayai Negara Bangsa atas kebajikan politikal mereka.

Perang mesti dihentikan, malah ia mesti dimansuhkan sampai bila-bila.

Aleppo, Yemen, Iraq, Rakhine dan negara negara lain sedang terbakar menunggu aksi komuniti internasional untuk bertindak.

Tinggal lagi persoalannya; Apakah kita semua mampu melakukannya?