top of page

Resah dan Mabuk Orang Muda

  • Mesin Cetak
  • Dec 14, 2016
  • 3 min read

“Aku ingin berjalan bersamamu, dalam hujan dan malam gelap, tapi aku tak bisa, melihat matamu” – Payung Teduh

Manusia sedaya upaya melenyapkan keterasingan. Dengan kata lainnya, “aku” semahunya menegaskan kesedaran keberadaan tentang aku. “Aku” yang dipikirkan oleh aku mestilah selari dengan tindakan aku––aku yang difikiran, berjalan bersama aku yang dengan tindakan. Kata lainnya, “aku” yang berada di dunia kini adalah “aku” yang dipikirkan dan diekspresikan oleh aku sendiri, sebebasnya mengikut kehendak aku. Untuk “aku” menampilkan “aku yang sesungguhnya”, “aku” terlebih dahulu mengenalpasti siapa “aku yang sesungguhnya”.

Penggalian diri untuk mengangkat apakah sesungguhnya “aku” ini adalah pencarian abadi manusia. Lantas pencarian ini boleh dibantu dengan pengetahuan yang boleh kita masukkan sebagai agama, sebagai sains mahupun sebagai ideologi. Pengetahuan dalam proses pencarian “aku yang sesungguhnya” adalah proses yang tidak pernah selesai. Tidak pernah selesai kerana “aku”, tidak pernah melihat “sesungguhnya aku”. “Aku” yang terlihat adalah aku yang dipantulkan oleh yang lain, dengan kata lain aku yang dipantulkan oleh agama atau ideologi, sepertimana “aku tak bisa melihat matamu”–– “aku” yang tidak bisa menatap mataku sendiri secara terus.

Malanglah bagi pengetahuan (baik sains mahupun agama) sekiranya menarik manusia ke dalam lubang keterasingan semula. Sebagaimana keterasingan ini dilihat melalui kepercayaan terhadap agama, terhadap material atau tunduk bisu di bawah ideologi.

“Aku menunggu dengan sabar, di atas sini, melayang-layang, tergoyang angin menantikan tubuh itu”––“yang di atas” bukan lagi idea terasing yang dikonsepkan sebagai “Tuhan”, melainkan “aku” yang memikirkan tentang “aku yang berbentuk/bertubuh” di bawah.

Apakah “aku yang di atas” itu sebuah ketetapan? Tidak, bahkan tergoyang sepertinya dedaunan melayang disentuh angin. Timbul lagi persoalan, ke arah mana “aku yang di atas” ini bergoyang?

Jawab Payung Teduh,“bertiup tak berarah, berarah ke ketiadaaan”. Arah “aku yang di atas” ialah tidak berarah, bahkan jika berarah sekalipun ianya menuju kepada ketiadaan. Tegasnya “aku” itu sendiri adalah kesia-siaan dan nihil. Tetapi manusia sendiri bukanlah idea yang berterbangan di atas, malah manusia adalah sesuatu yang bertubuh.

Bertubuh sekaligus membawa makna manusia ini mendunia–– berada di dunia, menyangkut hubungannya dengan alam. Tubuh yang menentang alam inilah yang menentukan arah manusia.

Pengalaman-pengalaman tubuh yang menentang sekaligus bermesra dengan “yang lain” di luarnya memberi satu jalan manusia merenung eksistensinya. Pertentangan manusia yang bertubuh dengan alam ini juga pertentangan antara ketakterhinggaan dengan keterbatasan, antara yang baqa’ dan yang fana. Tetapi, apakah eksistensi ini dapat ditemui lewat tubuh yang menentang alam terus menerus? Albert Camus mengatakan hubungan yang tumbuh antara manusia dengan alam ini melahirkan absurd. Nah, manusia bertemu lagi dengan kesiasiaan.

Jika tadi manusia (“aku” yang ber-idea) tidak berarah, menuju kepada ketiadaan, tetapi manusia yang bertubuh berhubung dengan alam melahirkan kesia-siaan, absurd. Manusia yang berbatas sedaya upaya menyelongkar kemisterian alam (sekaligus tentang dirinya) tetapi alam seakan sedaya upaya menyembunyikan dirinya, menyembunyikan kebenarannya. Jadi, apakah lagi hidup ini, yang tidak putus-putus “aku mencari siapa aku” tetapi menuju kesiasiaan––hampa.

Atas nama kesia-siaan inilah, manusia menurut Camus mengakhirinya dengan menuju kepada dua jalan; pertamanya bunuh diri–– mematikan hubungannya dengan alam supaya tidak melahirkan absurd. Keduanya ialah melompat menuju kepada kepercayaan untuk membungkus segala kemisterian yang tidak terjawab, agama misalnya. Malangnya, kedua-dua ini masih tidak menjawab keresahan tentang “siapa aku” malah hanya meninggalkannya. Kedua-duanya juga tidak menegaskan keberadaan aku.

Apakah tanggapan Camus kepada kedua-duanya jalan ini adalah benar? Mungkin sahaja tidak. Payung Teduh menyanyikan lagi “aku ingin berdua denganmu, di antara daun gugur, aku ingin berdua denganmu, tapi aku hanya melihat keresahanmu”. Inilah baris akhir lagunya. Masih resah, tetapi kata “aku ingin berdua denganmu, di antara daun gugur” bagai kata seorang pencari kenyataan yang tahu ianya tidak akan selesai–– kerana yang gugur boleh tumbuh dan gugur kembali membentuk pengulangan abadi.

Manusia bukanlah fakta-fakta, dan ketika manusia itu terlekat di atas fakta, manusia boleh saja diruntuhkan sepertinya daun gugur. Manusia berdiri di atas penafian, penafian bahawa “aku bukanlah sebagaimana yang telah didefinisikan”. Aku adalah sesuatu yang belum selesai. Berangkat daripada falsifikasi Popper, manusia menjadi beku ketika dimaknakan “aku ialah (dot dot dot)”.

Dalam penafian inilah manusia terus berusaha menafikan dirinya, melalui hidup untuk mengetahui “yang bukan aku”. “Siapa aku” tidak pernah selesai dijawab, meskipun soalan pertama yang disoal Adam kepada Tuhan sejurus dijadikan adalah “siapa aku?”, dan bukannya bertanyakan “siapa kau?”.

*Tulisan ini adalah ekstrak dari buku Setan-Setan Liberalisme terbitan Thukul Cetak. Whatsapp 01114719583 untuk maklumat lanjut.


 
 
 

Comments


© 2014 - 2017 Hak Cipta Terpelihara Thukul Cetak                                                                                                                Penerbitan Independen, Radikal & Progresif

 

 

 

 

bottom of page